Karsono, Bambang (2018) Buku Referensi dengan Judul "DERADIKALISASI : Memahami Radikalisme Islam dari Akar Persoalannya Agenda Strategis bagi Pluralisme dan Keutuhan Bangsa Perspektif Agama, Sosial Budaya dan Keamanan". In: DERADIKALISASI : Memahami Radikalisme Islam dari Akar Persoalannya Agenda Strategis bagi Pluralisme dan Keutuhan Bangsa Perspektif Agama, Sosial Budaya dan Keamanan. Ubhara Jaya Press, Bekasi, pp. 1-292. ISBN 978-979-9233-83-7
Text
Buku Deradikalisasi-Memahami Radikalisme Islam-05.pdf Download (1MB) |
||
|
Image
Cover Buku Deradikalisasi.jpeg Download (50kB) | Preview |
Abstract
Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001, hampir semua negara di dunia, khususnya negara-negara yang berpenduduk Muslim—telah-sedang- dan-akan—menjalankan berbagai program deradikalisasi. Tujuannya, membendung dan/atau meminimalisir efek negatif pemahaman agama yang radikal, yang merupakan lahan subur bagi persemaian ideologi destruktif, yang lazim disebut terorisme. Program deradikalisasi itu berjalan seiring dengan penegakan hukum terhadap para tersangka yang terbukti menjadi pelaku aksi kekerasan dan teror. Ribuan anggota radikal telah ditangkap, ditahan, diadili bahkan dihukum mati. Negara adidaya Amerika bahkan menciptakan penjara khusus bagi teroris di Guantanamo. Bahkan kekuatan perang beberapa negara, yang juga dikomandoi Amerika, telah melakukan penggempuran terhadap tempat-tempat yang diduga sebagai sarang teroris di Afganistan, Irak, dan Yaman. Belum lagi penindakan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di masing-masing negara Muslim, seperti di Saudi Arabia dan Mesir, termasuk Indonesia. Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa, aksi teror tetap saja terjadi. Di beberapa negara, aksi bom dan kekerasan bahkan menjadi rutinitas harian yang nyaris tanpa henti seperti di Pakistan, Afganistan dan Irak. Di pihak lain, berbagai komunitas dan kelompok-kelompok radikal bahkan terkesan lebih lantang bersuara. Barangkali karena itulah, dalam sebuah paparannya, seorang peneliti menyebutkan bahwa bila tidak ada langkah-langkah serius untuk membendung semangat radikalisme Islam, maka boleh jadi, masyarakat dunia masih akan terus terancam oleh berbagai aksi kekerasan di abad ke- 21 ini. Karena itu, kesimpulan sementara, program kontra terorisme yang hanya fokus pada penindakan (penangkapan, penahanan, pemidanaan), selain tidak bisa diharapkan untuk mengeliminir potensi ancaman teror, juga mulai muncul wacana bahwa pemberantasan terorisme melalui instrumen penindakan dan penegakan hukum semata justru akan menciptakan vendetta cycle (lingkaran setan pembalasan dendam): kekerasan dibalas kekerasan, teror dibalas teror, dan semua pihak merasa telah melakukan yang benar. Pertanyaannya adalah sampai kapan? Dan berapa lagi korban yang harus berjatuhan? Dari sinilah kemudian muncul semacam konsensus pada skala global, dan juga pada level nasional, tentang perlunya melakukan proses deradikalisasi yang terintegrasi. Dalam hal ini, beberapa negara telah malakukannya secara maksimal, seperti Arab Saudi, Mesir dan Singapura. Pada level nasional Indonesia, berbagai elemen dan komponen strategis bangsa juga telah mencapai konsensus tentang perlunya melakukan proses deradikalisasi. Berbagai pihak, termasuk beberapa lembaga negara yang dipelopori Polri telah berupaya merumuskan agenda deradikalisasi. Namun, harus diakui, meskipun telah tercipta konsensus tentang perlunya melakukan deradikalisasi dan sederet agenda telah dirumuskan ke dalam program aksi, namun salah satu poin deradikalisasi yang belum banyak dieksplorasi secara maksimal dan integratif adalah bagaimana menciptakan format ideal sehingga program deradikalisasi berjalan maksimal dan efektif di bidang pemikiran dan gagasan. Berdasarkan penelusuran terhadap sekian banyak kajian tentang deradikalisasi (makalah seminar, diskusi publik, dialog, ceramah, peliputan massif oleh media massa, penulisan buku, talk-show, internet dan seterusnya), hampir semua program-programnya masih cenderung lebih fokus pada analisis tentang urgensi deradikalisasi dan pemetaan kelompok masyarakat yang dipandang perlu mendapatkan program deradikalisasi. Artinya, wacana deradikalisasi cenderung masih lebih fokus pada aspek managerial dalam menjalankan proses deradikalisasi. Dan tentu saja, ini sudah merupakan kemajuan yang luar biasa. Sebagai contoh, semua sepakat bahwa salah satu format deradikalisasi adalah dialog atau penyuluhan. Namun, belum banyak dieksplorasi materi deradikalisasi apa yang harus disampaikan ketika melakukan dialog dan penyuluhan tersebut. Ilustrasi: kalau tiba-tiba kita berhadapan dengan seorang radikal sekaliber Imam Samudra, lalu dia berargumentasi tentang sahnya melakukan perampokan untuk membiayai jihad, dengan justifikasi bahwa perampokan itu merupakan bagian dari praktek mendapatkan fa’i (rampasan perang yang diperoleh tanpa pertempuran), maka yang diperlukan dalam proses awal deradikalisasi adalah mematahkan argumentasi tersebut, dan itu berarti bahwa seorang pekerja program deradikalisasi semestinya memahami betul dalil-dalil tentang fa’i. Dalam contoh kasus seperti ini, kita bisa saja langsung mengatakan bahwa perampokan itu haram, salah, sesat dan menyesatkan, penafsiran yang keliru, bertentangan dengan prinsip kesucian harta dalam Islam dan seterusnya. Tapi, menyalahkan dan memojokkan seseorang sekaliber Imam Samudra, tanpa dibarengi dalil pembanding, selain tidak meyakinkan juga boleh jadi justru semakin mepertajam radikalismenya. Selain masalah managerial dan pemetaan serta identifikasi persoalan, salah satu faktor kunci dalam progaram deradikalisasi adalah identifikasi dan pemahaman butir-butir materi serta gagasan yang berpotensi menciptakan seorang Muslim menjadi radikal atau teroris, sekaligus memahami akar persoalan dan dalil-dalil pembandingnya. Artinya, diperlukan sebuah pemahaman yang mendalam dan detail tentang konstruksi pemikiran dan ideologi yang membentuk radikalisme. Seorang radikal yang kebetulan hidup miskin, belum tentu dapat berubah moderat setelah menjadi kaya melalui pemberian kesempatan kerja yang lebih baik. Sebab pemahaman agama yang radikal itu masih diyakininya. Contoh lain, ketika Imam Samudra menulis bahwa Amerika adalah setan besar, atau ketika Osama bin Laden berfatwa bahwa boleh membunuh warga Amerika di manapun dan kapan pun serta dengan cara apapun, maka dalam kasus seperti ini, program deradikalisasi mestinya bukan langsung menyalahkan gagasan tersebut. Namun, mencoba menelusuri setiap butir pemikiran yang mengkonstruksi paham radikal yang sangat anti Amerika tersebut, lalu mencoba meng-counter setiap butir dari argumentasi yang melatarbelakanginya. Dan poin inilah yang menjadi fokus buku ini. Dengan kata lain, buku ini akan mencoba mengidentifikasi butir- butir pemikiran dan gagasan yang diyakini dapat membuat seseorang menjadi radikal, kemudian mencoba melakukan counter terhadap pemikiran radikal tersebut secara satu per satu dengan metode head-tohead, setiap tafsir radikal terhadap teks keagamaan akan dihadapkan dengan tafsir pembandingnya. Dan paparan tentang butir-butir pemikiran radikalisme vs deradikalisasi ini di-break-down dari tiga tema besar: khilafah Islamiyah, penerapan syariat Islam, dan persoalan jihad. Artinyasetiap butir pemikiran menyangkut tiga tema sentral tersebut yang dijadikan basis pemikiran radikalisme akan dibahas dengan metode head-to-head. Sebagai catatan, paparan dengan metode head-to-head tentang radikalisme dan deradikalisasi ini tidak bertujuan untuk mengidentifikasi mana pendapat yang lebih kuat dan paling shahih. Tapi ingin menegaskan bahwa setiap butir pemikiran radikalisme selalu ada gagasan alternatifnya, yang boleh jadi lebih kuat argumentasinya, atau setara argumentasinya, atau bahkan kadang gagasan alternatif itu tampak tidak mengesankan. Tujuan utamanya adalah menciptakan keyakinan bahwa tafsir yang dianut dan diyakini oleh para teroris bukan tafsir tunggal yang mutlak kebenarannya. Riset ini memilih metode head-to-head gagasan karena dilatarbelakangi pertimbangan bahwa seorang Muslim menjadi fanatik dan radikal terhadap gagasan dan tafsir tertentu, boleh jadi karena diakibatkan oleh keterbatasan bacaan, pergaulan dan wacana pembandingnya. Mereka terkunci pada satu doktrin tertentu, sehingga bagi mereka, semua pendapat dan gagasan orang lain adalah salah. Padahal, terhadap teks keagamaan, tidak pernah ada tafsir tunggal. Dan salah satu kaidah sekaligus etika berijtihad adalah bahwa suatu hasil ijtihad tidak boleh menegasikan hasil ijtihad lain, meskipun bertolak belakang. Riset ini dilakukan saat penulis menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Sosial Budaya, Badang Intelijen Negara. Hasil riset ini sebelumnya tidak dipublikasikan untuk umum—diterbitkan dan diedarkan secara internal dan terbatas pada Februari 2010. Bahwa, tujuan utama dari riset ini adalah mencoba memahami dan menjelaskan akar persoalan fenomena radikalisme di kalangan sebagian umat Islam, dengan fokus pada masalah gagasan dan pemahaman, yang diharapkan dapat berkontribusi positif untuk program-program ke arah deradikalisasi yang lebih maksimal dan lebih efektif. Semua itu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dini atas potensi ancaman aksi- aksi kekerasan dan teror, yang telah dan mungkin masih akan dilakukan oleh kelompok atau komunitas radikal.
Item Type: | Book Section |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Buku Referensi, DERADIKALISASI, Ilmu Hukum |
Subjects: | Ilmu Sosial > Hukum |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum |
Depositing User: | Bambang Karsono |
Date Deposited: | 22 Aug 2022 05:02 |
Last Modified: | 22 Aug 2022 05:02 |
URI: | http://repository.ubharajaya.ac.id/id/eprint/15171 |
Actions (login required)
View Item |
Downloads
Downloads per month over past year